Asal Ulas – Love for Sale (2018)

Well you have suffered enough and warred with yourself, it’s time that you won.

Oke. Saya agak bingung mau memulai ulasan “Love for Sale” ini dari mana. Sebab sekeluarnya saya dari ruang pemutaran film ini, seketika pungkasan ceritanya membuat saya teringat dengan potongan lirik lagu “Falling Slowly” yang dibawakan Glen Hansard dan Marketa Irglova dalam drama musikal “Once” (2006) di atas.

Sebab menit-menit akhir durasi film ini bagi saya memperlihatkan proses Richard (Gading Marten) yang akhirnya bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan meraih kemenangan. Entah dalam arti apapun itu.

Dan lirik itu terus berulang-ulang di kepala saya sampai hingga menjejaki tempat parkir sepeda motor. Namun di atas sepeda motor menuju warung nasi bebek, pemaknaan lain muncul di kepala saya, yakni beranjak atau bahasa gaulnya move on.

Richard akhirnya bisa beranjak dari rutinitas hidupnya yang stagnan. Richard beranjak dari keseharian yang diisi kesibukan mengelola sebuah percetakan dan akhir pekan yang biasa dihabiskan dengan nonton bareng sepak bola di kafe ataupun bar bersama teman-teman sehobi. Richard beranjak menuju pencarian kepuasan diri dengan caranya sendiri, di usia 41 tahun –mungkin lebih, sebab adegan berkelana Richard sudah berlangsung 7 bulan di akhir film–.

Ya. Bagi saya, proses Richard beranjak tak seremeh sekadar beranjak dari Maya, yang sepanjang film tak pernah kita ketahui rupa dan sosoknya. Ataupun sekadar beranjak dari girlfriend experience yang diperolehnya selama kehadiran Arini (Della Dartyan). Richard beranjak dari zona nyaman yang selama ini ia ciptakan dan nikmati sendirian.

Zona nyaman yang sempat terusik akibat tantangan sepele untuk membawa pasangan dalam pesta pernikahan Rudi Jaelani (Rizky Mocil), salah satu kawan nobarnya di akhir pekan. Zona nyaman yang betransformasi menjadi sedikit lebih menyenangkan berkat girlfriend experience yang dihadirkan Arini. Zona nyaman yang selama ini membatasi Richard dari apa-apa pengalaman baru.

0402_asal-ulas-9_love-for-sale

Dan tulisan ini sempat terhenti karena laga Liverpool kontra Watford yang berakhir 5-0 berkat caturgol Mohamed Salah. Liverpool yang ini sudah tanpa Philippe Coutinho, bukan Liverpool yang disaksikan Arini dan Richard di sela-sela 45 hari perjanjian kerja Love Inc mereka.

Yang jelas dari segalanya adalah betapa Arini aktor piawai dalam menghadirkan girlfriend experience sejak pertemuan pertama dengan Richard dalam tugasnya. Drama perkenalan, drama kedekatan, semuanya natural. Sampai-sampai Richard terlena dan lupa bahwa kontrak kerja mereka berlangsung 45 hari. Berlalu begitu saja.

Tapi “Love for Sale” betul-betul berjalan lambat. Banyak plothole tentu saja, tapi Richard berakhir dari wajah yang membosankan dan setiap saat galer, menjadi lebih segar pun meski ditinggal pergi Arini tanpa kemungkinan mendapat jawaban apapun.

Adegan Richard mewariskan keramik untuk Raka (Albert Halim), pemutar piringan hitam untuk Jaka (Adriano Qalbi) dan mobil untuk Syamsul (Rukman Rosadi), jadi penuntas pertempuran hati yang dialaminya. Ia sepertinya tidak pernah kehilangan Arini, malah kedatangan dan kepergian perempuan yang sempat mengaku berasal dari Pacitan dan Tulungagung itu membukakan jalan bagi Richard untuk beranjak dari zona nyaman.

Di atas kertas, ini cuma soal bujang lapuk (ya saya lebih suka pakai istilah itu ketimbang jomblo, jomblo itu bocah-bocah yang memilih mempertontonkan derita dalam kesendirian, bujang lapuk lebih tahu cara menikmati hidupnya) yang mencari pasangan. Tapi boleh jadi, memang ada kisah lebih dari itu, yang membuat Adriano Qalbi mau menerima peran sebagai Jaka, yang kerjanya cuma makan dan makan saja, tak terlampau signifikan.

Di sore hari ketika terbangun dari tidur panjang dan menuntaskan ulasan asal-asalan ini, boleh jadi saya merasa terbangun seperti Richard dan buru-buru ingin mencukur kumis. Sialan!

1 Comment

Leave a comment